Jumat, 11 Oktober 2013

Surat Terakhir - Cerita Pendek (Cerpen)

Takkan Terganti

Kring.. kring.. kring..
          Suara bel sepeda itu telah terdengar. Ya, itu pasti sahabatku, Nathan. Hampir setiap pagi Nathan menjemputku untuk pergi ke sekolah bersama. Aku selalu dibonceng olehnya. Kami memang bersahabat sejak kecil karena rumah kami bersebelahan. Karenanya, kami sering bertemu untuk menghabiskan waktu bersama.
          Nathan memakirkan sepedanya. Kami berjalan menuju kelas VIII-B. Di sepanjang koridor kami saling bercanda dan tertawa. Banyak yang mengira bahwa kami adalah sepasang kekasih karena kedekatanku dan Nathan. Tapi, itu tidaklah benar. Aku memang sayang kepada Nathan dan telah menganggapnya sebagai kakakku sendiri.
          Kelas berlangsung seperti biasa. Kami belajar, istirahat, belajar lagi, istirahat lagi, belajar lagi, dan pulang. Melelahkan dan amat membosankan. Sepulangnya kami dari sekolah, Nathan mengajakku ke sebuah taman. Kali ini kami berjalan kaki. Karena menurut Nathan, letak taman itu tak jauh dari tempat tinggal kami.
          Aku dan Nathan duduk di bangku taman pinggir danau.






Bagiku ini salah satu pemandangan yang sungguh indah. Sambil menikmati pemandangan yang ada, Nathan mengucapkan sebuah janji kepadaku. Ia berjanji kepadaku akan sering menghabiskan waktu bersamaku di taman ini. Aku hanya mengangguk dan melemparkan senyum kepadanya.
          Entah sudah berapa jam aku dan Nathan duduk di sini. Ya, jika sudah bersama Nathan, aku sering lupa waktu. Kami selalu berbagi cerita bersama. Tanpa disadari aku tertidur di pundak Nathan. Samar-samar aku mendengar suara Nathan. Jika aku tak salah dengar, ia berjanji lagi takkan meninggalkanku. Lalu, Nathan merangkulku. Akupun terlelap di dalam rangkulan Nathan.
          Aku terbangun dari tidurku. Ah, pasti Nathan menggendongku lagi. Ya, aku memang sering tertidur di pundak atau pangkuan Nathan dan saat aku bangun, aku sudah ada di kamarku. Nathan adalah sahabat yang sangat perhatian, penuh canda, dan penyayang. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena Tuhan memberiku sahabat seperti Nathan.
          Setelah mandi dan sarapan, aku berlari ke rumah pohon di belakang rumahku. Rumah pohon buatanku dan Nathan.






Dari atas sana, aku bisa melihat rumah dan kamar Nathan. Aku dan Nathan juga sering bermain di sini. Makan, tidur siang, membaca buku, ataupun hanya sekedar mengobrol. Kami menata rumah pohon ini dengan rapi agar kami betah tinggal di sini.
          Satu per satu kakiku menaiki anak tangga. Terlihat Nathan masih tertidur di kamarnya. Aku berteriak memanggil Nathan. Nathan-pun terbangun dari tidurnya. Ia membuka pintu kamar dan berjalan ke teras di depan kamarnya. Nathan menyuruhku untuk menunggu di rumah pohon ini. Akupun mengiyakannya.
          1 menit, 5 menit, 10 menit, 20 menit. Akhirnya, Nathan-pun datang. Nathan membawa sebuah pisau kecil di tangannya. Nathan menyuruhku turun ke bawah. Entah apa yang ingin ia lakukan. Mungkinkah ia akan membunuhku? Ah tidak, rasanya itu tidak mungkin. Aku bertanya-tanya dalam hatiku sendiri apa yang akan dilakukan Nathan. Ternyata, ia ingin mengukir nama kami di pohon yang telah kami gunakan sebagai rumah pohon. Dengan perlahan ia menggoreskan pisaunya ke pohon. Aku memperhatikannya dengan seksama. Akhirnya, Nathan selesai mengukirnya.





Ia tersenyum bahagia. Ia mengatakan bahwa itu akan menjadi kenangan bagi kami.
          Aku dan Nathan menaiki tangga ke rumah pohon. Nathan membuatkanku sebuah mahkota. Nathan berkata bahwa aku adalah ratu di kehidupannya. Aku tersipu malu mendengarnya. Kurasa wajahku memerah sekarang. Aku berjanji akan menyimpan mahkota buatan Nathan ini dengan baik.
          Karena bosan, aku dan Nathan membaca sebuah novel. Yang menceritakan tentang kehidupan seorang gadis yang kehilangan sahabatnya karena sebuah kecelakaan. Tak kusadari aku menitikkan air mata. Aku tak tahu bagaimana aku nanti jika kehilangan kakakku, maksudku sahabatku, Nathan. Nathan bertanya kepadaku mengapa aku menangis. Dan aku mejelaskan semuanya. Nathan-pun memeluk dan menenangkanku.
          Tiba-tiba Nathan mimisan. Hal ini membuatku menjadi panik. Aku langsung turun dan masuk ke dalam rumah untuk mengambil tisu dan minum. Aku kembali ke rumah pohon dengan segera. Nathan membersihkan hidungnya dan pulang ke rumah.
          Semenjak kejadian itu, aku jarang bermain lagi bersama Nathan. Ia lebih sering berdiam diri di rumah. Ia juga terlihat sering murung dan pucat. Aku tak tahu penyebabnya. Aku yakin ada sesuatu yang Nathan sembunyikan. Tapi, aku tak berani menanyakannya. Aku takut ia tersinggung.
          Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Hari ini usiaku menginjak 16 tahun. Aku merayakannya dengan mengadakan sebuah pesta kecil. Aku mengundang beberapa temanku dan tentu saja Nathan beserta keluarganya.
          Setelah meniup lilin, secara bergantian teman-temanku mengucapkan selamat dan doanya untukku. Dan Nathan menjadi yang terakhir.
          “Selamat ulangtahun, ratu kecilku.” kata Nathan sambil memelukku. Ia memberiku sebuah kado yang dibungkus kertas warna-warni.
          “Teresha, maafkan aku. Lusa nanti aku harus pindah ke Jerman. Aku akan melanjutkan sekolahku di sana. Aku takkan meninggalkanmu selamanya, mungkin setelah lulus SMA aku akan kembali ke sini.” lanjut Nathan. Hatiku tersentak. Aku kembali memeluk Nathan dan terisak dipelukannya. Bagiku ini adalah kado ulangtahun terburukku.
          Hari burukpun datang. Hari dimana Nathan akan meninggalkanku. Dua tahun bukanlah waktu yang cepat. Hari-hariku akan menjadi suram tanpanya. Aku mengucapkan salam perpisahan sementaraku kepada Nathan. Aku kembali menangis, kali ini lebih deras. Aku tak kuasa menahan tangisanku ini. Nathan dan keluarganya-pun lekas menuju bandara. Aku hanya bisa melambaikan tangan dan tak ikut pergi ke bandara. Kondisiku melemah sejak mendengar kabar tentang kepindahan Nathan.
          Satu tahun telah berlalu. Aku dan Nathan masih sering berkomunikasi, entah itu melalui Skype atau BBM. Hari-hariku terasa sangat sepi. Ayah dan bundaku selalu mencoba menghiburku, tapi mereka tidak mengerti bagaimana perasaanku sekarang. Aku bagaikan hidup sendiri di tengah hutan yang sangat lebat. Tak tahu apa yang harus kulakukan. Orang tuaku hanya sibuk dengan kerjaan mereka. Karena itu, aku menganggap Nathan adalah kakakku.
          Aku merasa senang karena Nathan masih memberiku kabar. Tapi, beberapa bulan belakangan ini, Nathan sulit dihubungi. Aku semakin khawatir dengan keadaannya. Aku sering berpikir untuk menyusulnya ke Jerman. Akan tetapi, kedua orang tuaku tidak mengizinkannya. Mereka hanya mencoba menenangkanku. Aku sangat merindukan Nathan.
          Hari ini aku akan menghadapi Ujian Nasional. Aku berharap agar dapat menempuh ujian menyebalkan ini dengan baik dan lulus dengan nilai yang sempurna. Sebelumnya, aku agak malas belajar karena aku masih cemas dengan Nathan. Aku sama sekali tak tahu keadaan Nathan sekarang. Ah, aku agak kecewa dengannya. Padahal, ia pernah berjanji kepadaku, tidak akan meninggalkanku.
           Dan hari ini aku menerima hasil kelulusan. Yeeaaayy! Nilaiku cukup memuaskan. Aku segera pulang ke rumah dan memberitahukan hasil nilaiku kepada kedua orang tuaku. Aku juga berkali-kali mencoba menghubungi Nathan melalui Skype. Tapi, hal itu percuma. Nathan tidak mengangkat teleponku.   
          Akhirnya, aku ke rumah pohon untuk menenangkan diri dan tertidur di sana. Samar-samar aku mendengar suara seseorang memanggil namaku. Sepertinya aku sering mendengar suara itu. Suara orang yang sangat aku rindukan. Ya, Nathan. Apakah itu benar-benar suara Nathan atau hanya mimpiku saja? Entahlah, berat sekali rasanya aku membuka mata. Perlahan namun pasti mataku terbuka. Aku melihat Nathan di hadapanku. Itu benar-benar Nathan.
          “Hei ratu kecilku, bagaimana tidurmu?” ucap Nathan. Aku langsung memeluknya. Aku menangis bahagia. Akhirnya, aku bisa melihat Nathan lagi. Namun, ada yang berubah dengannya. Rambutnya agak botak. Dan itu membuatku tertawa. Ia terlihat sangat lucu.
          Sore ini, aku dan Nathan kembali mengunjungi taman yang sudah lama tak kami datangi. Kurasa taman itu semakin indah. Ditambah kehadiran Nathan di sisiku. Ah, rasanya aku tak ingin kehilangan Nathan dan juga orangtuaku. Ya, walaupun kedua orangtuaku selalu sibuk sendiri, aku tetap menyayangi mereka.
          Nathan bernyanyi untukku. Ia menyanyikan lagu Moments yang dipopulerkan oleh One Direction sambil menggenggam tanganku. Aku terharu mendengarnya, sampai-sampai aku menitikkan air mataku lagi. Seusai bernyanyi, Nathan berbaring di rumput-rumput yang ada di pinggir danau. Aku juga ikut berbaring di sana.
          Dan seperti biasa, aku tertidur lagi. Namun, kurasa aku tertidur cukup lama. Akupun bangun dan mendapati banyak darah di baju Nathan. Ia memegang sebuah kertas yang bertuliskan,
Untuk Teresha,
          Hello ratu kecilku! Maafkan aku karena saat kamu baca surat ini, aku udah ga ada lagi. Tuhan udah kangen sama aku, jadi Dia jemput aku sekarang. Maaf sebelumnya aku ga jujur sama kamu. Sebenarnya, aku ke Jerman bukan untuk sekolah tapi untuk berobat karena selama ±2 tahun ini aku mengidap Leukimia.
      Jangan pernah putus asa dan merasa kesepian karena kepergian aku ini ya. Aku akan selalu ada untuk kamu kok. Jaga diri kamu baik-baik ya. Selamat tinggal ratu kecilku :) xx

                                                      Nathan

        Nathan, mengapa kau melanggar janjimu? Kau pernah berjanji tidak akan meninggalkanku. Tapi, sekarang kau malah pergi untuk selamanya. Meninggalkanku dalam kesendirian ini. Di saat aku membutuhkan bantuanmu. Di saat aku sedih, takkan lagi ada yang menghiburku. Takkan ada lagi yang memelukku. Takkan ada lagi yang bernyanyi untukku dan takkan ada lagi yang menggendongku saat aku terlelap.
          Ya Tuhan, mengapa begitu cepat Kau mengambil Nathan? Aku masih membutuhkannya sebagai sahabat baikku. Yang memberiku dukungan dan nasehat. Tapi, aku bahagia karena Kau telah mempertemukanku dengan Nathan.
          Selesainya Nathan dimakamkan, aku pulang dan langsung ke rumah pohon. Banyak kenangan di sana. Mahkota, ukiran nama kami, dan foto-foto yang kami pajang masih tertata rapi. Tiba-tiba aku teringat kado pemberian Nathan saat ulangtahunku yang ke 16. Aku membukanya. Dan isi kado itu adalah sebuah kotak musik yang setiap diputar kuncinya selalu mengalunkan nada-nada indah dan ada ballerina kecil yang menari di sana. Aku menangis. “Terimakasih Nathan, aku menyayangimu. Aku takkan melupakanku. Kau takkan terganti.” kataku dalam hati.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...