Takkan Terganti
Kring.. kring.. kring..
Suara bel sepeda itu
telah terdengar. Ya, itu pasti sahabatku, Nathan. Hampir setiap pagi Nathan
menjemputku untuk pergi ke sekolah bersama. Aku selalu dibonceng olehnya. Kami
memang bersahabat sejak kecil karena rumah kami bersebelahan. Karenanya, kami
sering bertemu untuk menghabiskan waktu bersama.
Nathan memakirkan
sepedanya. Kami berjalan menuju kelas VIII-B. Di sepanjang koridor kami saling
bercanda dan tertawa. Banyak yang mengira bahwa kami adalah sepasang kekasih
karena kedekatanku dan Nathan. Tapi, itu tidaklah benar. Aku memang sayang
kepada Nathan dan telah menganggapnya sebagai kakakku sendiri.
Kelas berlangsung
seperti biasa. Kami belajar, istirahat, belajar lagi, istirahat lagi, belajar
lagi, dan pulang. Melelahkan dan amat membosankan. Sepulangnya kami dari
sekolah, Nathan mengajakku ke sebuah taman. Kali ini kami berjalan kaki. Karena
menurut Nathan, letak taman itu tak jauh dari tempat tinggal kami.
Aku dan Nathan duduk
di bangku taman pinggir danau.
Bagiku ini salah satu pemandangan yang sungguh indah. Sambil
menikmati pemandangan yang ada, Nathan mengucapkan sebuah janji kepadaku. Ia
berjanji kepadaku akan sering menghabiskan waktu bersamaku di taman ini. Aku
hanya mengangguk dan melemparkan senyum kepadanya.
Entah sudah berapa
jam aku dan Nathan duduk di sini. Ya, jika sudah bersama Nathan, aku sering
lupa waktu. Kami selalu berbagi cerita bersama. Tanpa disadari aku tertidur di
pundak Nathan. Samar-samar aku mendengar suara Nathan. Jika aku tak salah
dengar, ia berjanji lagi takkan meninggalkanku. Lalu, Nathan merangkulku.
Akupun terlelap di dalam rangkulan Nathan.
Aku terbangun dari
tidurku. Ah, pasti Nathan menggendongku lagi. Ya, aku memang sering tertidur di
pundak atau pangkuan Nathan dan saat aku bangun, aku sudah ada di kamarku.
Nathan adalah sahabat yang sangat perhatian, penuh canda, dan penyayang. Aku
sangat bersyukur kepada Tuhan karena Tuhan memberiku sahabat seperti Nathan.
Setelah mandi dan
sarapan, aku berlari ke rumah pohon di belakang rumahku. Rumah pohon buatanku
dan Nathan.
Dari atas sana, aku bisa melihat rumah dan kamar Nathan. Aku dan
Nathan juga sering bermain di sini. Makan, tidur siang, membaca buku, ataupun
hanya sekedar mengobrol. Kami menata rumah pohon ini dengan rapi agar kami
betah tinggal di sini.
Satu per satu kakiku
menaiki anak tangga. Terlihat Nathan masih tertidur di kamarnya. Aku berteriak
memanggil Nathan. Nathan-pun terbangun dari tidurnya. Ia membuka pintu kamar
dan berjalan ke teras di depan kamarnya. Nathan menyuruhku untuk menunggu di
rumah pohon ini. Akupun mengiyakannya.
1 menit, 5 menit, 10
menit, 20 menit. Akhirnya, Nathan-pun datang. Nathan membawa sebuah pisau kecil
di tangannya. Nathan menyuruhku turun ke bawah. Entah apa yang ingin ia
lakukan. Mungkinkah ia akan membunuhku? Ah tidak, rasanya itu tidak mungkin.
Aku bertanya-tanya dalam hatiku sendiri apa yang akan dilakukan Nathan.
Ternyata, ia ingin mengukir nama kami di pohon yang telah kami gunakan sebagai
rumah pohon. Dengan perlahan ia menggoreskan pisaunya ke pohon. Aku
memperhatikannya dengan seksama. Akhirnya, Nathan selesai mengukirnya.
Ia tersenyum bahagia. Ia mengatakan bahwa itu akan menjadi kenangan
bagi kami.
Aku dan Nathan
menaiki tangga ke rumah pohon. Nathan membuatkanku sebuah mahkota. Nathan
berkata bahwa aku adalah ratu di kehidupannya. Aku tersipu malu mendengarnya.
Kurasa wajahku memerah sekarang. Aku berjanji akan menyimpan mahkota buatan
Nathan ini dengan baik.
Karena bosan, aku dan
Nathan membaca sebuah novel. Yang menceritakan tentang kehidupan seorang gadis
yang kehilangan sahabatnya karena sebuah kecelakaan. Tak kusadari aku
menitikkan air mata. Aku tak tahu bagaimana aku nanti jika kehilangan kakakku,
maksudku sahabatku, Nathan. Nathan bertanya kepadaku mengapa aku menangis. Dan
aku mejelaskan semuanya. Nathan-pun memeluk dan menenangkanku.
Tiba-tiba Nathan
mimisan. Hal ini membuatku menjadi panik. Aku langsung turun dan masuk ke dalam
rumah untuk mengambil tisu dan minum. Aku kembali ke rumah pohon dengan segera.
Nathan membersihkan hidungnya dan pulang ke rumah.
Semenjak kejadian
itu, aku jarang bermain lagi bersama Nathan. Ia lebih sering berdiam diri di
rumah. Ia juga terlihat sering murung dan pucat. Aku tak tahu penyebabnya. Aku
yakin ada sesuatu yang Nathan sembunyikan. Tapi, aku tak berani menanyakannya.
Aku takut ia tersinggung.
Tak terasa waktu
berjalan begitu cepat. Hari ini usiaku menginjak 16 tahun. Aku merayakannya
dengan mengadakan sebuah pesta kecil. Aku mengundang beberapa temanku dan tentu
saja Nathan beserta keluarganya.
Setelah meniup lilin,
secara bergantian teman-temanku mengucapkan selamat dan doanya untukku. Dan
Nathan menjadi yang terakhir.
“Selamat ulangtahun,
ratu kecilku.” kata Nathan sambil memelukku. Ia memberiku sebuah kado yang
dibungkus kertas warna-warni.
“Teresha, maafkan
aku. Lusa nanti aku harus pindah ke Jerman. Aku akan melanjutkan sekolahku di
sana. Aku takkan meninggalkanmu selamanya, mungkin setelah lulus SMA aku akan
kembali ke sini.” lanjut Nathan. Hatiku tersentak. Aku kembali memeluk Nathan
dan terisak dipelukannya. Bagiku ini adalah kado ulangtahun terburukku.
Hari burukpun datang.
Hari dimana Nathan akan meninggalkanku. Dua tahun bukanlah waktu yang cepat.
Hari-hariku akan menjadi suram tanpanya. Aku mengucapkan salam perpisahan
sementaraku kepada Nathan. Aku kembali menangis, kali ini lebih deras. Aku tak
kuasa menahan tangisanku ini. Nathan dan keluarganya-pun lekas menuju bandara.
Aku hanya bisa melambaikan tangan dan tak ikut pergi ke bandara. Kondisiku
melemah sejak mendengar kabar tentang kepindahan Nathan.
Satu tahun telah
berlalu. Aku dan Nathan masih sering berkomunikasi, entah itu melalui Skype
atau BBM. Hari-hariku terasa sangat sepi. Ayah dan bundaku selalu mencoba
menghiburku, tapi mereka tidak mengerti bagaimana perasaanku sekarang. Aku
bagaikan hidup sendiri di tengah hutan yang sangat lebat. Tak tahu apa yang
harus kulakukan. Orang tuaku hanya sibuk dengan kerjaan mereka. Karena itu, aku
menganggap Nathan adalah kakakku.
Aku merasa senang
karena Nathan masih memberiku kabar. Tapi, beberapa bulan belakangan ini,
Nathan sulit dihubungi. Aku semakin khawatir dengan keadaannya. Aku sering
berpikir untuk menyusulnya ke Jerman. Akan tetapi, kedua orang tuaku tidak
mengizinkannya. Mereka hanya mencoba menenangkanku. Aku sangat merindukan
Nathan.
Hari ini aku akan
menghadapi Ujian Nasional. Aku berharap agar dapat menempuh ujian menyebalkan
ini dengan baik dan lulus dengan nilai yang sempurna. Sebelumnya, aku agak
malas belajar karena aku masih cemas dengan Nathan. Aku sama sekali tak tahu
keadaan Nathan sekarang. Ah, aku agak kecewa dengannya. Padahal, ia pernah
berjanji kepadaku, tidak akan meninggalkanku.
Dan hari ini aku menerima hasil kelulusan.
Yeeaaayy! Nilaiku cukup memuaskan. Aku segera pulang ke rumah dan
memberitahukan hasil nilaiku kepada kedua orang tuaku. Aku juga berkali-kali
mencoba menghubungi Nathan melalui Skype. Tapi, hal itu percuma. Nathan tidak
mengangkat teleponku.
Akhirnya, aku ke
rumah pohon untuk menenangkan diri dan tertidur di sana. Samar-samar aku
mendengar suara seseorang memanggil namaku. Sepertinya aku sering mendengar
suara itu. Suara orang yang sangat aku rindukan. Ya, Nathan. Apakah itu
benar-benar suara Nathan atau hanya mimpiku saja? Entahlah, berat sekali
rasanya aku membuka mata. Perlahan namun pasti mataku terbuka. Aku melihat
Nathan di hadapanku. Itu benar-benar Nathan.
“Hei ratu kecilku,
bagaimana tidurmu?” ucap Nathan. Aku langsung memeluknya. Aku menangis bahagia.
Akhirnya, aku bisa melihat Nathan lagi. Namun, ada yang berubah dengannya.
Rambutnya agak botak. Dan itu membuatku tertawa. Ia terlihat sangat lucu.
Sore ini, aku dan
Nathan kembali mengunjungi taman yang sudah lama tak kami datangi. Kurasa taman
itu semakin indah. Ditambah kehadiran Nathan di sisiku. Ah, rasanya aku tak
ingin kehilangan Nathan dan juga orangtuaku. Ya, walaupun kedua orangtuaku
selalu sibuk sendiri, aku tetap menyayangi mereka.
Nathan bernyanyi
untukku. Ia menyanyikan lagu Moments yang dipopulerkan oleh One Direction
sambil menggenggam tanganku. Aku terharu mendengarnya, sampai-sampai aku
menitikkan air mataku lagi. Seusai bernyanyi, Nathan berbaring di rumput-rumput
yang ada di pinggir danau. Aku juga ikut berbaring di sana.
Dan seperti biasa,
aku tertidur lagi. Namun, kurasa aku tertidur cukup lama. Akupun bangun dan
mendapati banyak darah di baju Nathan. Ia memegang sebuah kertas yang
bertuliskan,
Untuk
Teresha,
Hello ratu kecilku! Maafkan aku karena
saat kamu baca surat ini, aku udah ga ada lagi. Tuhan udah kangen sama aku,
jadi Dia jemput aku sekarang. Maaf sebelumnya aku ga jujur sama kamu.
Sebenarnya, aku ke Jerman bukan untuk sekolah tapi untuk berobat karena selama ±2
tahun ini aku mengidap Leukimia.
Jangan pernah
putus asa dan merasa kesepian karena kepergian aku ini ya. Aku akan selalu ada
untuk kamu kok. Jaga diri kamu baik-baik ya. Selamat tinggal ratu kecilku :) xx
Nathan
Nathan, mengapa kau melanggar janjimu? Kau
pernah berjanji tidak akan meninggalkanku. Tapi, sekarang kau malah pergi untuk
selamanya. Meninggalkanku dalam kesendirian ini. Di saat aku membutuhkan
bantuanmu. Di saat aku sedih, takkan lagi ada yang menghiburku. Takkan ada lagi
yang memelukku. Takkan ada lagi yang bernyanyi untukku dan takkan ada lagi yang
menggendongku saat aku terlelap.
Ya
Tuhan, mengapa begitu cepat Kau mengambil Nathan? Aku masih membutuhkannya
sebagai sahabat baikku. Yang memberiku dukungan dan nasehat. Tapi, aku bahagia
karena Kau telah mempertemukanku dengan Nathan.
Selesainya
Nathan dimakamkan, aku pulang dan langsung ke rumah pohon. Banyak kenangan di
sana. Mahkota, ukiran nama kami, dan foto-foto yang kami pajang masih tertata
rapi. Tiba-tiba aku teringat kado pemberian Nathan saat ulangtahunku yang ke
16. Aku membukanya. Dan isi kado itu adalah sebuah kotak musik yang setiap
diputar kuncinya selalu mengalunkan nada-nada indah dan ada ballerina kecil
yang menari di sana. Aku menangis. “Terimakasih Nathan, aku menyayangimu. Aku
takkan melupakanku. Kau takkan terganti.” kataku dalam hati.